Suatu ketika, hiduplah seorang perempuan tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang masam. Tamu itu tampaknya seperti orang sedang dihadang masalah berat dengan raut wajah yang sedih dan galau. Tanpa membuang waktu, anak muda itu menceritakan semua masalahnya. Orang tua yang bijak itu mendengarkan dengan saksama. Ia lalu mengambil segenggam garam dapur dan meminta pemuda itu mengambil segelas air di telaga dekat rumah perempuan tua tersebut. Ditaburkannya segenggam garam kedalam segelas air telaga lalu di aduknya secara perlahan-lahan “ coba minum ini, dan katakana bagaimana rasanya” ujar perempuan tua itu.
Perempuan tua itu tersenyum. Lalu ia mengajak pemuda itu ke suatu telaga dekat rumahnya dengan membawa segenggam garam ditangannya, dimana ia mengajak pemuda itu ke tempat awal pemuda itu mengambil segelas air telaga dengan berjalan berdampingan, dan ketika sesampainya ditepi telaga tersebut. Pemuda itu lalu tersanjung melihat keindahan telaga tersebut dengan suasana hening menikmati tenangnya air telaga .” keindahantelaga ini sungguh menakjubkan, jauh berbeda pada saat saya mengambil segelas air di telaga ini “,ujar pemuda itu.
“ iya nak, beginilah yang namanya keindahan, yang bila di pandang dengan hati yang jernih itu akan terasa indah, dan sebaliknya meskipun ada suatu pemadangan yang begitu indah….yang tanpa dipandang dengan hati jernih , tampaknya keindahan itu tidak dapat di kita rasakan “, jawab perempuan tua itu. Setelah itu perempuan tua itu kemudian menamburkan segenggam garam ke telaga itu. Dengan septong kayu diaduknya permukaan air hingga tercipta gelombang riak air, yang mengusik ketengangan telaga itu . “ Coba ambil air dari telaga ini, dan minumlah !” Saat pemuda itu meneguk air itu, orang tua itu kembali bertanya , “ Bagaimana rasanya ?”.
“ Segar.” Sahut pemuda itu.” Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu ? “, Tanya orang tua itu lagi. “ Tidak .”, jawab si pemuda itu.
Dengan bijak, orang perempuan tua itu menepuk-nepuk punggung pemuda itu. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu, “ Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan itu memang akan tetap sam.”
“ Tapi pahit yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan, tempat kita melerakkan segalanya. Itu semua tergantung pada hati kita. Jadi,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar