Ujian Nasional (UN) sebaiknya hanya dijadikan alat pemetaan pendidikan. Selama ini, UN menjadi standar penentu kelulusan.
Kebijakan itu pun ditolak banyak pihak. Sebab, ada standar penilaian lainnya yang bisa digunakan pemerintah untuk mengetahui kompetensi siswa secara nasional.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Pengamat Pendidikan Dharmaningtyas dalam diskusi bertajuk Akses Pendidikan Berkualitas untuk Semua besutan Network for Education Watch (NEW) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Tyas menyebut, penerapan kurikulum 2013 tidak bisa menggunakan UN sebagai standar penilaian.
"Standar penilaian bisa pilih salah satu. Kuriku
lum 2013 atau UN. Tidak bisa dua-duanya karena kontradiktif," papar Tyas di Hotel Mega Matraman, Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (8/11/2014).
Menurut Tyas, UN bukan solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. UN, kata Tyas, harusnya menjadi data untuk melihat pemerataan pendidikan di Nusantara.
"Yang kita perlu bukan UN, tapi pemetaan. Bedanya, pemetaan tidak perlu dilakukan tiap tahun, bisa dua tahun sekali. Dan bukan dilakukan di kelas ujung, bisa di tengah kelas. Misalnya kelas lima, tujuh, atau XI. Bisa juga kelas enam, sembilan, dan XII tapi di akhir semester pertama. Jadi bukan berimplikasi kepada kelulusan," tuturnya.
Dia menambahkan, ketika UN dijadikan sebagai penentu kelulusan, sekolah dengan nilai bagus dapat reward dan yang jelek dapat punishment. Apalagi, lanjutnya, dengan menjadikan UN sebagai alat untuk pemetaan, pemerintah bisa menghemat anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN setiap tahun.
"Keuntungan UN sebagai pemetaan, dana UN yang rata-rata Rp700 miliar setiap tahun bisa dihemat. Karena pelaksanaan UN sebagai pemetaan bisa dilakukan dua atau tiga tahun sekali. Jadi tidak perlu tiap tahun. Bagaimana dengan kualitas? Pemetaan untuk melihat bagaimana standar nasional tercapai," ungkap Tyas.
(rfa)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2014/11/08/65/1062781/un-jadi-pemetaan-saja-bukan-penentu-kelulusan
Kebijakan itu pun ditolak banyak pihak. Sebab, ada standar penilaian lainnya yang bisa digunakan pemerintah untuk mengetahui kompetensi siswa secara nasional.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Pengamat Pendidikan Dharmaningtyas dalam diskusi bertajuk Akses Pendidikan Berkualitas untuk Semua besutan Network for Education Watch (NEW) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Tyas menyebut, penerapan kurikulum 2013 tidak bisa menggunakan UN sebagai standar penilaian.
"Standar penilaian bisa pilih salah satu. Kuriku
lum 2013 atau UN. Tidak bisa dua-duanya karena kontradiktif," papar Tyas di Hotel Mega Matraman, Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (8/11/2014).
Menurut Tyas, UN bukan solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. UN, kata Tyas, harusnya menjadi data untuk melihat pemerataan pendidikan di Nusantara.
"Yang kita perlu bukan UN, tapi pemetaan. Bedanya, pemetaan tidak perlu dilakukan tiap tahun, bisa dua tahun sekali. Dan bukan dilakukan di kelas ujung, bisa di tengah kelas. Misalnya kelas lima, tujuh, atau XI. Bisa juga kelas enam, sembilan, dan XII tapi di akhir semester pertama. Jadi bukan berimplikasi kepada kelulusan," tuturnya.
Dia menambahkan, ketika UN dijadikan sebagai penentu kelulusan, sekolah dengan nilai bagus dapat reward dan yang jelek dapat punishment. Apalagi, lanjutnya, dengan menjadikan UN sebagai alat untuk pemetaan, pemerintah bisa menghemat anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN setiap tahun.
"Keuntungan UN sebagai pemetaan, dana UN yang rata-rata Rp700 miliar setiap tahun bisa dihemat. Karena pelaksanaan UN sebagai pemetaan bisa dilakukan dua atau tiga tahun sekali. Jadi tidak perlu tiap tahun. Bagaimana dengan kualitas? Pemetaan untuk melihat bagaimana standar nasional tercapai," ungkap Tyas.
(rfa)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2014/11/08/65/1062781/un-jadi-pemetaan-saja-bukan-penentu-kelulusan