Pengertian Efisiensi dan Efektifitas - Indonesiaku Bicara

Breaking

Minggu, 06 Januari 2013

Pengertian Efisiensi dan Efektifitas


A. Penerimaan Pemerintah
              Penerimaan pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (Samu, 2005) diartikan sebagai uang yang masuk ke kas daerah, atau penerimaan yang didapat pemerintah daerah yang meliputi pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari PAD, dana perimbangan, dan lain- lain pendapatan yang sah. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah. dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Secara garis besar sumber-sumber penerimaan atau cara-cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mendapatkan dana, pada pokoknya dapat digolongkan antara lain sebagai berikut :

          a.  Pajak,adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara lansung dapat ditunjuk.
b.  Retribusi,adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antar balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut.
          c.  Keuntungan dari perusahaan - perusahaan Negara. Penerimaan dari sumber ini merupakan penerimaan pemerintah dari hasil penjualan barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan - perusahaan Negara.
          d.  Pinjaman. Pinjaman ini bisa dapat berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
              Beberapa sumber dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan antara lain : berasal dari dalam negeri (internal) seperti PAD, pendapatan dari institusi yang lebih tinggi (dana perimbangan), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sedangkan yang berasal dari luar negeri yaitu dalam bentuk grant, pinjaman, dan penanaman modal asing.
              Proses pembangunan suatu daerah seperti halnya di Kabupaten Pinrang, suatu syarat penting yang harus diperhatikan adalah pembangunan harus dilaksanakan atas kekuatan yang terdapat pada kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber dalam daerah itu sendiri, karena pembangunan tidak akan berjalan lancar dengan hanya bermodalkan bantuan dari luar daerah tanpa tenaga pendorong intern yang cukup.
     1.  Pendapatan Hasil  Daerah
                   Pendapatan Asli Daerah meliputi semua penerimaan daerah atas usaha sendiri dari semua sumber pendapatan yang telah ditetapkan peraturan perundangannya atau dengan undang-undang atau Peraturan Pemerintah diserahkan kepada daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
                   Hal ini sejalan pula dengan pendapat Susiyati B. Hirawan dalam, Arsyad L. (1992) bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari penerimaan yang berasal dari pajak, retribusi, penerimaan dinas, laba dari perusahaan daerah dan penerimaan lain-lain.
                   PAD merupakan sumber pendapatan yang penting untuk dapat membiayai penyelenggaran pemerintah dan pembangunan daerah. Bahkan PAD dapat memberi warna terhadap otonomi suatu daerah karena pendapatan ini dapat digunakan bebas oleh daerah. Artinya penggunaan dana yang bersumber dari PAD dapat dimanfaatkan oleh daerah sesuai dengan kebutuhannya sehingga secara prinsip pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya tidak berwenang untuk mengatur/menentukan penggunaan sumber pendapatan daerah tersebut.
                   Sebagaimana telah diketahui bahwa PAD terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Hasil Retribusi Daerah, Hasil Milik Daerah, dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Lainnya yang dipisahkan serta lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
          a.  Hasil Pajak Daerah
                       Pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentinganpembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut.(Mardiasmo, 1997).
                        Menurut Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 1997, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang atau pribadi atau kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan, berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Undang-undang ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 dimana dalam Undang-Undang yang lama, pajak tidak diberikan batasan secara tegas mengenai kriteria yang membedakan antara pajak dan retribusi. Adapun jenis pajak yang dapat dipungut oleh Pemda secara garis besar dibedakan menjadi 2 bagian yaitu :
              1).   Jenis pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah di tingkat Provinsi terdiri dari :
                     a).   Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.
                     b).   Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.
                     c).   Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
                     d).   Pajak pengambilan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

              2).   Jenis pajak daerah yang dipungut oleh Pemda di tingkat kabupaten/kota terdiri dari : Pajak hotel, Pajak restoran, Pajak hiburan, Pajak reklame, Pajak penerangan jalan (PPJ), Pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan Pajak parkir
          b.  Hasil Retribusi Daerah
                        Retribusi daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari rumah swasta berdasarkan norma-norma umum yang ditetapkannya, berhubungan dengan prestasi yang diselenggarakan untuk kepentingan umum secara khusus yang dilaksanakan sendiri oleh penguasa publik.
                        Dari defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri retribusi sebagai berikut :
              1).   Adanya jasa yang diberikan oleh negara yang langsung dapat ditunjuk.
              2).   Pelaksanaannya bersifat ekonomis, yaitu agar penggunaan jasa negara dibatasi.
              3).   Adanya balas jasa kontra prestasi dirumah tangga swasta rakyat.
              4).   Segala jasa negara yang diberikan oleh negara sesuai dengan tugas khususnya sebagai penguasa publik.

          c.  Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya.
                        Perusahaan daerah adalah perusahaan yang modalnya
              sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan/atau berdasarkan undang-undang. Hasil perusahaan daerah atau badan lain yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pembinaan dan penataan perusahaan daerah bertujuan untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah serta mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah maka, perusahaan dapat memanfaatkan peluang melalui kerja sama dengan pihak ketiga berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
     2.  Teori Pemungutan Pajak
                   Atas dasar apakah Negara mempunyai hak untuk memungut pajak? (Mardiasmo,1983:3),Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau yang memberikan hak kepada Negara untuk memungut pajak, antara lain :
          a.  Teori Asuransi
                        Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
        b. Teori Kepentingan
                        Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya pelindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan sesorang terhadap Negara, maka semakin tinggi pajak yang harus dibayar.
        c. Teori Daya Pikul
                        Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus sesuai daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan, yaitu :
              1).   Unsur objektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
              2).   Unsur subyektif, yaitu: dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materi yang harus dipenuhi.
        d. Teori Bakti
                        Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.


        c. Teori Asas Daya Beli
                        Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara.Selanjutnya Negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahtraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat diutamakan.
B. Pajak Daerah
     1.  Pengertian Pajak Daerah
                   Pengertian pajak daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut :
"Pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah".
                   Lebih lanjut Adisasmita (2006:82) menguraikan pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan antara lain menurut Rahmat Sumitro, bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan)
          dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
                   Dave (1998) berpendapat bahwa pajak daerah merupakan bagian dari sistem perpajakan nasional yang dalam otonomi daerah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sebagai salah satu sumber penerimaan pendapatan asli daerah.
Menurut Kunarjo (1996) yang dimaksud dengan : "Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan daerah dan pembangunan daerah".
Dari berbagai pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pajak daerah dapat diartikan sebagai pungutan wajib yang dapat dilakukan oleh daerah yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang­-undangan, tanpa imbalan langsung diberikan dan digunakan untuk membiayai kegiatan umum yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintah daerah.
Dalam pemungutannya, ruang lingkup pajak daerah kabupaten/ kota sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, PajakPenerangan Jalan (PPJ), Pajak Parkir, Pajak Pengambilan & Pengelohan Bahan Galian Golongan C,dan Pajak Hiburan.

                   Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain ditetapkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, dengan menetapkan sendiri
          jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu :
          a.  Bersifat pajak dan bukan retribusi.
          b.  Objek pajak terletak di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta melayani masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
          c.  Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
          d.  Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi atau objek pajak pusat.
          e.  Potensinya memadai.
          f.   Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
          g.  Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
          h. Menjaga kelestarian lingkungan.
                   Disadari atau tidak pada hakekatnya pajak daerah merupakan pungutan yang dikenakan terhadap seluruh rakyat di suatu daerah. Segala bentuk pungutan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh Pemda sebenarnya merupakan pengurangan hak rakyat oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam pungutannya tidak boleh diskriminatif dan harus diupayakan bersifat adil.
                   Dalam perpajakan keadilan haruslah objektif dan dapat dirasakan merata oleh rakyat. Atas dasar pemikiran tersebut, maka diperlukan landasan berfikir dalam melakukan pemungutan pajak. Landasan berpikir yang mendasari pajak ini dikenal dengan pemungutan pajak. Azas saja tidak cukup, perlu justifikasi yang melandasi konsep berpikir yang rasional dalam pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan teori pemungutan pajak.
     2.  Dasar Pemungutan Pajak
                   Dasar pemungutan pajak merupakan bentuk operasional dari pengakuan dan pengukuran keadaan objek pajak atau stelsel. Kesit Bambang Prakosa (2003:6-7) menguraikan beberapa dasar pungutan pajak sebagai berikut:
          a.  Stelsel Nyata (Real Stelsel)
                        Pengenaan pajak bedasarkan pada keadaan objek pajak yang sesungguhnya (real / nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun setelah keadaan sesungguhnya objek pajak diketahui. Keunggulan stelsel ini sebagai dasar pajak lebih realistis. Kelemahan dari stelsel ini, pajak baru dapat dibayar atau dikenakan setelah akhir periode, yaitu ketika keadaan objek pajak secara real telah diketahui.

          b.  Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
                        Pengenaan pajak didasarkan pada keadaan yang diatur oleh ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keadaan yang diatur ini merupakan suatu asumsi atau anggapan yang ditetapkan oleh ketentuan atau peraturan. Misalnya, keadaan objek pajak tahun sekarang sama dengan keadaan objek tahun lalu, sehigga pajak tahun sekarang dapat dikenakan pada awal tahun. Keunggulan stelsel ini, pajak dapat dibayar selama tahun sekarang, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya, pajak yang dikenakan atau dibayar tidak menggambarkan keadaan pajak yang sebenarnya.
          c.  Stelsel Campuran
                        Untuk mengatasi kelemahan masing-masing stelsel tersebut, maka dalam pelaksanaan pengenaan pajak dilakukan dengan dua cara. Diawal tahun pajak yang dikenakan, didasarkan pada keadaan objek pajak pada tahun lalu, dan diakhir tahun pajak yang dikenakan berdasar keadaan yang sesungguhnya objek pajak. Jika pajak yang dibayar diawal tahun lebih besar dari pajak yang dihitung pada akhir tahun, maka terjadi kelebihan pajak. Kelebihan  pajak bayar ini dapat direstitusi (kelebihanya dapat diminta kembali). Sebaliknya, jika akhir tahun yang lebih besar, maka wajib pajak yang bersangkutan melunasi kekurangan.


     3.  Sistem Pemungutan Pajak
                   Kewenangan pungut dan cara menetapkan besarnya pungutan pajak  inilah yang melahirkan besarnya pungutan pajak. Kesit Bambang Prakosa (2003:7-8), membagi sistem pajak sebagai berikut:
          a.  Official Assesment System
                        Sistem pemungutan pajak yang dipercayakan kewenangan
              untuk menentukan besarnya pajak terhutang pada fiskus (pemerintah). Sistem ini meletakkan wajib pajak pada posisi yang lemah dan pasif, utang pajak yang timbul setelah terbitnya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Sistem ini hanya cocok diterapkan pada masyarakat berpendidikan rendah dan tingkat kejujuran aparat yang tinggi. Jika tidak menimbulkan kewenangan dari aparat pajak dan korupsi.
          b.  Self Assesment System
                        Sistem pemungutan pajak memberikan kepercayaan, tanggung jawab dan kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak yang terutang dan harus dibayar kepada diri pribadi wajib pajak sendiri. Sistem ini hanya cocok diterapkan bagi masyarakat yang sudah maju dan iklim pajaknya sudah baik, tax mindednya tinggi, dan tingkat integritas masyarakatnya tinggi.

          c.  Witholding System
                        Sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan dan kepercayaan kepada pihak ketiga untuk menghitung, memotong, atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
     4.  Fungsi Pajak
                    Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dan berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pa-
          jak dan berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak, yaitu :
          a.  Fungsi Penerimaan (Budgetary), sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
          b.  Fungsi Mengatur (Regulerent), sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan-kebijakan dibidang sosial dan ekonomi.Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan, demikian pula terhadap barang mewah.
     5.  Peranan Pajak Daerah
                   Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut :
          a.  Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis. Artinya
       dapat mudah naik turun mengikuti naikturunnya tingkat pendapatan masyarakat.
  b.  Adil dan merata secara vertikal.Artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horisontal,artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
          c.  Administrasi yang fleksibel.Artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.
          d.  Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak (ketaatan membayar pajaknya tinggi).
          e.  Non-distorsi terhadap perekonomian,implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen.
              Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara rnenyeluruh (dead-weight loss). Kerugian masyarakat tersebut berupa berkurangnya nilai tambah ekonomi karena adanya realokasi sumber daya (efek substitusi) karena adanya pungutan tersebut. Hal ini terkait dengan tarif pajak optimal dan elastisitas permintaan dan penawarannya.
                   Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
          a.  Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut.Berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
          b.  Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
          c.  Tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
                   Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu, Pemda dalam melakukan pungutan pajak harus tetap "menempatkan" sesuai dengan fungsinya.
Fungsi pajak yaitu fungsi budgeter dah fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan. Beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
a.    Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonorni dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.
b.    Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu "mobile". Pajak daerah yang sangat "mobile" akan mendorong pembayar pajak merelokasi transaksi ekonominya dari daerah yang kena pajak atau beban pajaknya tinggi ke daerah yang tidak kena pajak atau beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu "mobile" akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat.
c.    Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
d.    Pajak daerah seharusnya "visible", dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung seningga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
e.    Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
f.     Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
g.    Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.
h.   Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pernerintahan, kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat dilokalisasi bagi pembayar pajak lokal.
C. Pajak Hotel
     1.  Pengertian Pajak Hotel
                   Menurut pendapat Mugodim (1999), Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang-orang untuk menginap / istirahat memperoleh pelayanan, dan fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran.
                   Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak hotel merupakan salah satu dari komponen pajak daerah, yakni yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang mendapatkan pelayanan dari hotel.
                   Berdasarkan Perda Kabupaten Pinrang No. 4 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel yang selanjutnya disebut pajak adalah pungutan daerah atas pelayanan hotel. Hotel yang dimaksud adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.
                   Objek pajak hotel adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran meliputi :
          a.  Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek. Antara lain, gubug pariwisata (Cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hotel), losmen, dan rumah penginapan.
          b.  Pelayanan penunjang.Antara lain : Restoran, Telepon, faximile, telex, fotocopy, pelayanan binatu, setrika, taksi, dan pengangkutan lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
          c.  Fasilitas olah raga dan hiburan, antara lain : pusat kebugaran (fitnes center) kolam renang, tennis lapangan, golf, karaoke, pub, diskotik yang disediakan atau dikelola hotel,jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel.
                   Sedangkan yang dikecualikan dari objek pajak hotel adalah :
          a.  Penyewaan rumah atau kamar, apartemen atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel.
          b.  Asrama dan pondok pesantren
          c.  Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran.
          d.  Pertokoan, perkantoran, perbankan, salon, yang dipakai oleh umum dihotel.
          e.  Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum.
                   Adapun subyek pajak hotel sebagaimana yang ditetapkan pada Perda Nomor 4 tahun 1998 adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel dengan tarif palingtinggi 10% dan ditetapkan melalui Perda.
                   Dan yang menjadi wajib pajak hotel adalah pengusaha atau pemilik hotel yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak terutang. Jadi, wajib pajak merupakan pemotong
          atau pemungut pajak hotel.

     2.  Pengelolaan Pajak Hotel
                   Pengelolaan merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu manajemen. Secara etimologi pengelolaan berasal dari kata “kelola” (to manage) dan biasanya merujuk pada proses mengurus atau menangani sesuatu untuk mencapai tujuan. Meskipun banyak ahli yang memberikan pengertian tentang pengelolaan yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya memiliki maksud dan tujuan yang sama.
                   Menurut Prajudi (1990:50), Pengelolaan adalah pengendalian dan pemanfaatan semua faktor sumber daya yang menurut suatu perencana diperlukan untuk menyelesaikan suatu tujuan kerja tertentu.
                   Menurut Westra (1983:14), Pengelolaan sama dengan manajemen yaitu menggerakkan, mengorganisasikan, dan mengarahkan usaha manusia untuk memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan.
                   Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah pengelolaan memiliki pengertian yang sama dengan manajemen. Dimana pengelolaan merupakan bagian dari proses manajemen karena didalamnya harus diperhatikan mengenai proses kerja yang baik, mengorganisasikan suatu pekerjaan, mengarahkan dan mengawasi,
          sehingga apa yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik.
                   Berdasarkan beberapa pengertian tentang pengelolaan dan pe-
          ngertian tentang pajak hotel yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan bukan hanya melaksanakan suatu kegiatan, akan tetapi merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi fungsi-fungsi manajemen, dan berkaitan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Hal ini sejalan dengan pengertian pengelolaan keuangan daerah menurut Permendagri RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah.
     3.  Potensi Pajak Hotel
                   Upaya peningkatan hasil penerimaan pajak hotel merupakan konsep dinamis atau berkesinambungan.Sifat dinamis ini menyangkut aspek intensifikasi dan ektensifikasi. Pada satu sisi tahap perencanaan dan pengendalian operasional harus mampu meningkatkan kualitas sistem dan prosedur yang ada sehingga total administrasi dapat diminimalisir. Pada sisi yang lain, tahap perencanaan dan pengendalian operasional harus mampu pula me-
          ngidentifikasibagian dariobjek pajak hotel.
                   Menurut Harun H (2003),penerimaan pajak hotel dipengaruhi oleh potensi dari pajak hotel itu sendiri. Sedangkan potensi pajak hotel harus diketahui dari jumlah kamar, tarif kamar, dan tingkat hunian kamar hotel.
                   Menurut Mugodim (1999), bahwa pengunjung merupakan subjek pajak yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel dan restoran. Keterkaitan yang erat antara sektor hotel dengan pengunjung/wisatawan baik mancanegara maupun domestik membuat perkembangan produksi perhotelan sangat dipengaruhi oleh pengunjung/wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Pinrang.Untuk meningkatkan penerimaan pajak hotel, salah satu upaya pemerintah adalah bekerjasama denganpengusaha hotel dengan melaksanakan kegiatan promosi potensi daerah, baik potensi untuk berusaha maupun potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Pinrang dan sekitarnya.
                    Penerimaan pajak hotel dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tarif kamar hotel yang ditetapkan oleh pengusaha hotel.Dari beberapa hotel di Kota Parepare masing-masing mempunyai tarif yang berbeda-beda.Perbedaaan tarif kamar hotel berdasarkan tipe hotel dan fasilitas pelayanan yang disediakan pihakhotel.
                   Menurut Sunarto (2005), tarif hotel adalah tarif pembayaran kamar hotel yang diwajibkan disetor oleh subjek pajak yang telah mempergunakan pelayanan dan fasilitas yang disediakan hotel. Jadi setiap pengunjung hotel diharuskan membayar tarif hotel kepada pengusaha hotel selaku wajib pajak hotel. Dari pembayaran tersebut dikalikan tarif pajak hotel sebesar 10% berdasarkan Undang-undang  Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Perda Kabupaten Pinrang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel.
                   Menurut Adisasmita R. (2006), menyebutkan syarat-syarat dan penentuan tarif pajak adalah:
          a.  Syarat yuridis, dalam arti harus adil dan ada kepastian hukum yang jelas.
          b.  Syarat ekonomis, dalam arti pajak harus dibayar dari penghasilan wajib pajak dan tidak mengurangi kekayaan.
          c.  Syarat financial, dalam arti bahwa pajak harus dapat menutupi sebagian pengeluaran, dan tidak memerlukan ongkos pemungutan yang tinggi.
          d.  Harus ditagih tepat waktunya.
                   Menurut Bohari (1973), bahwa untuk menyukseskan pemungutan pajak hotel, terutama dari fungsinya sebagai pengisi kas daerah, maka perlu membutuhkan atau meningkatkan kesadaran wajib pajak. Hal ini bisa dicapai bila tercipta iklim perpajakan yang sehat, yang dapat menghilangkan hambatan-hambatan psikologis yang masih melekat pada diri wajib pajak saat ini. Iklim yang sehat berarti masyarakat wajib pajak mau dan sadar
          akan kewajibannya untuk membayar pajak hotel.
                   Namun demikian kesadaran wajib pajak juga akan meningkat bilamana pemerintah memberikan transparansi/penjelasan terhadap penggunaan pajak yang disetor ke kas daerah. Bahwa kontribusi pajak hotel yang disetor selama ini sekian persen terhadap sarana dan prasarana atau infrastruktur sehingga muncul istilah sekarang “Lunasi Pajak dan Awasi Penggunaannya”.
D. Kendala Peningkatan Pajak
              Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
              Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan Peraturan PemerintahNomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, namun kewenangan tersebut tidak akan berdampak besar terhadap peningkatan pajak daerah. Dikatakan demikian, karena basis pajak-pajak yang besar telah dikuasai oleh pusat disatu sisi dan disisi lain dan selama ini kontribusi PAD terhadap APBD (rata-rata kurang dari 10%). Menurut Kuncoro (1995), bahwa sedikitnya adalima penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan ketergantungan daerah pada alokasi dana (bagi hasil pajak dan bukan pajak, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dari pemerintah pusat, yakni:
          a.  Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
          b.  Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan dimana semua jenis pajak utama yang produktif ditarik oleh pemerintah pusat.
          c.  Pajak daerah cukup beragam, namun hanya sedikit yang diandalkan sebagai sumber penerimaan daerah.
          d.  Adanya alasan politis, karena banyakorang khawatir bahwa ketika daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong separatisme dan disintegrasi.
          e.  Kelemahan dalam pemberian subsidi pemerintah pusat kepada daerah karena besarnya kewenangan pemerintah pusat dalam perencanaan pembangunan di daerah.
              Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah yang merupakan salah satu komponen PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Banyak pemasalahan yang berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD. Terutama hal ini disebabkan oleh:
          a.  Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi, namun melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah, tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak daerah propinsi. Diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah.
          b.  Perannya yang tergolong kecil dalam penerimaan daerah. Sebagi-
              an besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari segi biaya pungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pungutan PAD-nyadan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
          c.  Kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. Salah satu sebabnya adalah ditetapkan sistem target dalam pungutan daerah. Sebagai akibat beberapa daerah memenuhi target tersebut, walaupun dari
              sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukan pajak dan ret-
              ribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
          d.  Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
              Upaya pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang diusahakan untuk menjadi sumber PAD selalu dihadapkan dengan tantangan karena kejinakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah seringkali tidak dijalankan baik oleh wajib pajak maupun aparat yang menjalankan kewajiban tersebut. Menurut Santoso (1995:88), bahwa penerimaan PAD yang minim disebabkan oleh beberapa hal, yakni:
          a.  Banyak sumber-sumber pendapatan yang relatif potensial yang digali dalam wilayah daerah kabupaten/kota, tetapi pemungutan-
              nya berada dalam kewenangan propinsi.
          b.  BUMD (badan usaha milik daerah) pada umumnya belum beroperasi secara efisien sehingga belum menjadi penerimaan PAD potensial.
          c.  Kurangnya kesadaran membayar pajak, retribusi, dan pungutan PAD yang sah lainnya.
          e.  Rendahnya taraf hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin pada rendahnya pendapatan per kapita masyarakat.
          f.   Kurangnya kemampuan Pemda dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada.
              Pemda dikatakan berhasil dalam melaksanakan otonomi daerah apabila mampu mencapai kemandirian dana melalui manajemen keuangan daerah (manajemen APBD) yang lebih baik.
              Selain kendala tersebut di atas, hal yang turut menjadi kendala dalam peningkatan pajak di daerah adalah belum adanya/diterapkannya insentif pajak kepada investor yang ingin menanamkan modalnya di daerah.

              (Adisasmita:2006), Insentif pajak adalah pemberian kemudahan
     kepada wajib pajak untuk berinvestasi. Artinya wajib pajak diberi kesempatan untuk mengembangkan usahanya, bilamana usaha yang dijalankan sudah berkembang dan layak dikenakan pajak barulah pemerintah menetapkan pajak yang harus dibayar atau disetor ke kas daerah sesuai dengan kemampuan membayar pajak(ability to pay).
              Dari penjelasan tersebut di atas, maka pemerintah daerah bakal dilibatkan untuk menciptakan iklim investasi yang kodusif, terutama daerah tujuan investasi. Dengan insentif pajak maka akan menumbuhkan investasi di daerah, oleh karena adanya kemudahan yang diberikan kepada investor yang akan menanamkan modalnya di daerah tersebut.
              Disinsentif pajak adalah pengenaan pajak yang tinggi kepada wajib pajak sehingga wajib pajak tidak mampu membayar kewajiban pajaknya dan akhirnya motivasi untuk bekerja atau berusaha tidak ada karena adanya tarif pajak yang tinggi.
E. Pengertian Efisiensi
              Efisiensi ekonomi sering disebut juga Pareto Optimality yaitu sebagai suatu kriteria yang sangat banyak digunakan oleh para ahli ekonomi untuk kebijakan pemerintah.Kriteria ini tidak banyak digunakan oleh para ahli non ekonomi, karena adanya kesalahpahaman tentang konsep efisiensi yang digunakan oleh para ahli ekonomi yang berorientasi pada kebendaan seperti misalnya meminimkan biaya, memaksimumkan keuntungan, dan sebagainya.Berorientasi pada pengertian efisiensi diartikan dalam kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. Secara kasar dapat dikatakan bahwa efisiensi ekonomi ada, apabila kebijakan pemerintah itu lebih baik dan
memperhatikan pengaruh ekonomi terhadap kesejahteraan sejauh mungkin. Secara lebih hati-hati pengertian efisiensi ini dapat dipertegas yaitu kalau suatu perekonomian itu sudah tidak mungkin lagi mengadakan alokasi sumber-sumber yang menyebabkan disatu pihak akan lebih makmur dan pihak lain merugi.
              Menurut Adisasmita R. (2006), Efisiensi adalah input yang digunakan, dialokasikan secara optimal dan baik untuk mencapai output yang menggunakan biaya terendah.
              Efisiensi berarti pemanfaatan sumber daya ekonomi dengan cara-cara paling efektif. Efektif berarti bahwa output yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Efisien dapat diartikan pula bahwa segala input dialokasikan sedemikian rupa, hingga output dapat diproduksi dengan biaya termurah. Seringkali efisiensi diartikan dalam kaitannya dengan kegiatan pemerintah yang dilaksanakan tanpa pemborosan atau dengan kehematan yang sebesar-besarnya, atau dapat dilaksanakan secara optimal.Dilihat dari kepentingan masyarakat, efisiensi berarti menciptakan kesejahteraan masyarakat.Pelaksanaan kebijakan pemerintah seharusnya diupayakan untuk menghindari pemborosan, meningkatkan kehematan, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
              Menurut Kepmendagri Nomor 13 Tahun 2006, Efisien adalah pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah. Untuk mencapai keluaran tertentu.                        Dalam suatu sistem persaingan yang sehat, produsen-produsen mampu menerapkan teknik-teknik produksi dengan biaya-biaya produksi yang termurah, sehingga tercapailah efisiensi.Namun kenyataannya banyak produsen tidak mengetahui sehingga tidak mampu menggunakan teknik produksi yang paling murah, maka biaya produksinya lebih tinggi, yang berarti tidak efisien.Banyak pabrik dan industri telah menimbulkan pencemaran udara dan pencemaran air yang menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat sekitarnya, berupa kerusakan kesehatan dan harta benda.Terjadinya ketidakefisienan dan polusi tersebut adalah akibat dari kegagalan pasar, maka terdapat peluang bagi pemerintah untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkannya, melalui pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dalam upaya mengatasi dampak ekonomi yang negatif tersebut, diharapkan agar pemerintah tetap waspada akan kemungkinan kegagalan pemerintah, yaitu keadaan yang lebih parah. Penanganan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegagalan pasar harus dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif,
     meliputi semua sektor/instansi yang terkait.
F. Pengertian Efektifitas
              Menurut Sumadji P, dkk (2006:277), Efektifitas adalah tingkat dimana kinerja yang sesungguhnya sebanding dengan kinerja yang ditargetkan. Sedangkan menurut Adisasmita R. (2006:143), Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki.
              Menurut Susilo (1992), Efektifitas adalah suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana atau peralatan yang digunakan, disertai tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan. Sedangkan Gibson, dkk (1996), Efektifitas dalam konteks perilaku organisasi merupakan hubungan optimal antara produksi, kualitas, efesiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan.
              Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengemukakan bahwa efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.
              Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas bahwa efektifitas merupakan perbandingan antara target pajak hotel dengan realisasi penerimaan pajak hotel. Jadi hasil dari perbandingan tersebut menunjukkan tingkat efektifitas pajak hotel, semakin mendekati angka
     satu semakin baik efektifitasnya

v 

   Definisi Operasional
1.  Efisiensi, adalah nilai yang dihitung berdasarkan  presentase perbandingan biaya operasional pemungutan pajak hotel dengan realisasi penerimaan pajak hotel, dan sebagai acuan untuk mengukur bagian dari hasil pajak hotel yang digunakan untuk menutupi biaya pemungutan pajak hotel sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2009.
2.  Efektifitas, adalah nilai yang dihitung berdasarkan prosentase perbandingan realisasi penerimaan pajak hotel dengan target pene-
     rimaan pajak hotel, dan dapat mengukur hubungan antara realisasi penerimaan pajak hotel dengan target penerimaan pajak hotel, sejak tahun 2007sampai dengan tahun 2009.
     3.  Biaya Pemungutan Pajak Hotel, adalah biaya yang dibebankan pada APBD Kabupaten Pinrang untuk membiayai segala kegiatan yang berkaitan dengan pemungutan pajak hotel sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012.
     4.  Target Penerimaan Pajak Hotel, adalah jumlah yang tertuang pada APBD Kabupaten Pinrang, yang merupakan bagian dari PAD, sejak tahun 2007sampai dengan tahun 2012.
     5.  Realisasi Penerimaan Pajak Hotel, adalah jumlah yang tertuang pada Laporan Realisasi APBD Kabupaten Pinrang, yang merupakan bagian dari PAD, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012.


Sumber : Ekawati Mukaddas Mahasiswi Univ.Muhammadiyah Parepare

2 komentar:

MNW++ mengatakan...

bolehkah di copy artikel nyaa

Andika Mukaddas mengatakan...

boleh aja, klw di copy di blog sobat jangan lupan sisipkan sumber artikel ini