Mengirim E-Mail kepada Setan - Indonesiaku Bicara

Breaking

Kamis, 16 Januari 2014

Mengirim E-Mail kepada Setan

     
      Salah satu kewajiban orang tua muslim, setahu saya, adalah memberi nama yang baik untuk Sang buah hati. Orang tua saya -entah memahami masalah itu atau tidak- telah menunaikan kewajibannya dengan memprasastikan nama saya pada sehelai pusaka abadi nan jaya, yaitu akta kelahiran. Satu hal yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh orang tua saya bahwa pemberian nama itu, suatu saat akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikis-psikologis yang tercermin pada keanehan perilaku dan cara berpikir anaknya.
     Fenomena itulah yang melanda saya. Hanya karena perkara nama, saya sering berperilaku rada aneh. Semisal saja, anak saya sering melompat kaget karena secara mendadak saya tertawa histeris di depannya. Keanehan perilaku itu terjadi hanya karena saya terlalu jumawa, terlalu ‘mario-marennu’ terhadap nama-diri yang diawali dengan huruf S. Mengapa saya jadi mario-marennu? Presiden pertama Indonesia yang dijuluki Singa Podium, namanya diawali huruf S. Presiden kedua Indonesia bergelar Macan Asia, namanya dimulai dengan huruf S. Presiden Indonesia saat ini -semoga saya tidak keliru- namanya pun berhuruf depan S. Pada tataran struktural di bawah presiden, katakanlah Gubernur Sulawesi Selatan,  namanya juga berhuruf awal S. Fakta terakhir: pasti kita sepakat bahwa destinasi wisata religi yang paling banyak mengobsesi orang adalah SURGA. Semua orang bercita-cita ingin menetap di sana, bukan? Nah, tempat yang paling nyaman saja dimulai dengan huruf S.  Percayalah bukan saya yang men-skenario-kan, jika Presiden Indonesia, Gubernur Sulawesi Selatan, dan tempat paling sensasional harus diawali huruf S.
     Alasan mengapa saya kerapkali berperilaku aneh dengan tertawa histeris di depan anak masih bisa diterima akal sehat. Maksudnya, alangkah wajar bila rakyat kecil semacam saya ini dirasuki perasaan euforia (mario-marennu) hanya karena nama-diri berhuruf depan sama dengan pemimpinnya.
     Tetapi, perilaku aneh yang mungkin sukar dimaklumi akal sehat adalah ketika saya mendapat inspirasi ajaib. Mengapa tiba-tiba saya bernafsu sekali mengirim email kepada setan. Lagi-lagi saya termotivasi karena setan dan saya memiliki kemiripan nama. Setan diawali huruf S dan diakhiri huruf N.  Simbol linguistiknya tidak jauh beda dengan nama saya.
     Hal lain yang memicu adrenalin saya untuk mengirim email kepada setan adalah ini:
saya ingin membuktikan tingkat kecerdasan setan dalam membalas email manusia. Sebab, saya terlanjur mengakui kecerdasan setan pada perihal rayu-merayu dan sesat-menyesatkan manusia dalam segala bidang. Oleh karena itu, saya berkomitmen di bidang kirim-mengirim email ini, saya -sebagai perwakilan manusia- semoga berhasil mempecundangi setan. Mulailah saya merakit kata demi kata dengan sangat hati-hati. Adapun isi email saya adalah sebagai berikut:

Setan yang baik hati. Salam hormat dan cintaku kepadamu, setan.
Walaupun engkau adalah musuh yang nyata bagiku, setan, tetapi marilah kita berdamai demi masa depan anak-cucu kita. Selama ini kita saling mencurigai dan saling memusuhi. Walhasil, aku tidak pernah merasa tenang dan merasa aman terhadap ancamanmu, setan. Di negeriku, penyakit yang paling akut dan sukar disehatkan adalah penyakit korupsi. Mulai detik ini, mari bahu-membahu bersatu melawan korupsi. Kalau kita menang melawan koruptor nanti duitnya kita bagi dua. Kalau perlu engkau ambil sembilan puluh lima persen, aku ambil sisanya saja. Bagaimana setuju? Secepatnya kutunggu balasan emailmu, setan!


 Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan saya setia menunggu balasan email dari setan. Ternyata tidak ada jawaban. Saya mulai cemas. Jangan-jangan setan murka dan naik pitam karena isi email saya melanggar tata bahasa Indonesia baku sehingga setan terlalu kaku memahaminya. Rasa takut mulai menghantui saya. Saya lupa bahwa setan selalu lebih hebat daripada manusia. Bahkan kepada Tuhan pun, setan telah melancarkan protes sengit. Saya mulai menyesal mengirim email kepada setan.
     Suatu hari ketika saya iseng membuka email saya, rasa was-was dan bahagia berbaur menyatu. Saya mengurut dada. Saya lega karena akhirnya saya menerima balasan email dari setan. Mau tahu apa isi emailnya?

Setan yang baik hati. Salam hormat dan cintaku kepadamu, setan.
Walaupun engkau adalah musuh yang nyata bagiku, setan, tetapi marilah kita berdamai demi masa depan anak-cucu kita. Selama ini kita saling mencurigai dan saling memusuhi. Walhasil, aku tidak pernah merasa tenang dan merasa aman terhadap ancamanmu, setan. Di negeriku, penyakit yang paling akut dan sukar disehatkan adalah penyakit korupsi. Mulai detik ini, mari bahu-membahu bersatu melawan korupsi. Kalau kita menang melawan koruptor nanti duitnya kita bagi dua. Kalau perlu engkau ambil sembilan puluh lima persen, aku ambil sisanya saja. Bagaimana setuju? Secepatnya kutunggu balasan emailmu, setan!

     Jadi, terima kasih kepada siapa saja yang telah membaca tulisan saya yang terlalu mengada-ada ini. Setelah itu beri saya pemakluman. Jujur saja, saya sebenarnya takut sekali pada setan. Maka, saya berusaha melawan rasa takut itu dengan cara menumbuhkan keberanian untuk intens berkomunikasi dengan setan. Siapa tahu kelak setan tergoda dan tunduk mengikuti ajakan saya untuk menikmati sajian penari ‘strip-tease’ yang kadar erotisnya sepuluh kali lipat dari goyang ngebor Inul Daratista. Terus-terang salah satu cita-cita saya yang belum tercapai sampai hari ini, yaitu: ingin sekali melihat setan menonton setan.

 (Sahran Himamaru)